Yang
dimaksud badan di sini adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas (PT), perseroan komanditer (CV), perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap (UU Nomor 28 tahun 2007).
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak.
Jadi, Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam
UU KUP.
Adapun subjek
dari PPh Badan yaitu :
1. Wajib
Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia.
2. Wajib
Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh
Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan adalah sebagai berikut:
1. Kewajiban mendaftarkan diri
Dalam hal
ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila
wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa
kena pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN
1984, maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan
menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil
yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan
jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta
rupiah) maka tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha
kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran
brutonya lebih dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.
2. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana
terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib
menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan :
Menurut UU No.28
tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pembukuan
adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data
& informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang,
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa yang terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan
tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak
berakhir.
Persayaratan Pembukuan :
1) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak Badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan
di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah,
dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan.
3) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat
asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari
catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
5) Pencatatan tersebut terdiri dari data yang
dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto, dan/atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan obyek pajak dan penghasilan yang dikenakan
pajak yang bersifat final.
6) Buku-buku , catatan-catatan, dokumen-dokumen
lain wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau
di tempat tinggal bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, atau di tempat kedudukan
Wajib Pajak Badan.
7) Wajib Pajak yang tidak wajib melakukan pembukuan
dan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib menyampaikan
SPT Tahunan PPh.
8) Bahasa asing yang dimaksud adalah bahasa
Inggris. (Lihat KMK Nomor 543/KMK.04/2000)
Bagi wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan
sehingga tidak diketahui besarnya pajak yang terutang, akan dikenakan sanksi
administrasi berupa kenaikan dengan rincian sebagai berikut (Pasal 13 ayat (3) UU KUP No. 28 Tahun 2007):
a) 50 % (lima
puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu
Tahun Pajak;
b) 100 % (seratus persen) dari Pajak Penghasilan
yang tidak atau kurang dipotong, tidak
atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan
dipotong atau dipungut tetapi
tidak atau kurang disetorkan;
c) 100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar
3. Kewajiban melakukan pemotongan dan
pemungutan, diantaranya yaitu:
a. Kewajiban pajak sendiri
(seperti PPh Pasal 25/29);
b. Kewajiban memotong atau memungut
(pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh
Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban memungut PPN dan atau
PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis
pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum bisa diuraikan
sebagai berikut:
a.
PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib
Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para
karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi
lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam
hal terdapat pembayaran penghasilan, yang termasuk objek PPh Pasal 21, kepada
orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu pada
ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax treaty.
b.
PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh
Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta
imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman,
jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c.
PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti;
sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan
dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan
pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan
ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
d.
PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha
tertentu yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan
pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi,
seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan
sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan
PPh Final yang terutang atas sewa kantor tersebut.
e.
PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor
setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan
pelaksanaannya.
f.
PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak
berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g.
PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang
Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong
barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang juga
terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4. Kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5. Kewajiban
membayar dan menyetorkan pajak
6. Kewajiban
membuat faktur pajak
7. Kewajiban
melunasi bea materai
8. Kewajiban
menaati pemeriksaan pajak
Hak Wajib
Pajak Badan dalam Perpajakan adalah sebagai berikut:
1. Hak untuk mendapat pembinaan dan
pengarahan dari fiskus
2. Hak untuk membetulkan, memperpanjang
waktu penyampaian SPT
3. Hak untuk
mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung
4. Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran
pajak
5. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan
pemeriksaan
6. Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
7. Hak
mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda penagihan
pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran kelebihan
pajak oleh DJP
8. Hak untuk melakukan pengkreditan pajak
masukan terhadap pajak keluaran
9. Hak
mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai biaya
fiskal.
Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan
PPh Badan
Saat
terutang dari pajak penghasilan badan adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut
sudah mendapat penghasilan atau laba. Pajak Penghasilan
(PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph
badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional
temasuk hari yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang
ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau
bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran
pajak harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran
pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang
berwenang atau apabila telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi
lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Negara (NTPN).
Apabila
pajak terutang untuk satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka
penyetoran kekurangan pajak yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi
selambat-lambatnya sebelum SPT Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan
SPT, maksimal disampaikan pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak
berakhir.
Cara
Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi
perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya antara pembukuan komersil dengan
pembukuan menurut perpajakan. Berikut perbedaan diantara keduanya.
Beda
Tetap (Permanent Difference)
1. Menurut akuntasi komersial merupakan penghasilan, sedangkan
menurut ketentuan Pajak Penghasilan bukan penghasilan.
Misal:
dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri
dari penyertaan modal sebesar 25%
atau lebih pada badan usaha yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia.
2. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangakan
menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini
dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung)
dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal:
penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah dipotong PPh
Final oleh Bank sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan
menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan
bruto (Pasal 9 UU PPh).
Misalnya :
a. Biaya-biaya yang
digunakan untuk memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura atau
kenikmatan.
c. Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d. Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan
karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya
entertainment, daftar nominatif atas penghapusan piutang).
Beda
Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu
merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan
ketentuan fiskal.
Misalnya
yaitu :
a. Metode
penyusutan,
b. Metode
penilaian persediaan,
c.
Penyisihan piutang tak tertagih,
d. Rugi-laba selisih
kurs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar